Home > Kolom

Emisi Kontainer Meledak, Bencana yang Tertunda?

Emisi kontainer yang ada masih kerap menyalahkan krisis pelayaran terbaru.
Foto pelabuhan. Emisi kontainer di abad ke-21 sudah di angka yang mengkhawatirkan. Sumber:Unsplash/Stergios K.
Foto pelabuhan. Emisi kontainer di abad ke-21 sudah di angka yang mengkhawatirkan. Sumber:Unsplash/Stergios K.

ShippingCargo.co.id, Jakarta—Memasuki pertengahan abad ke-21, selamat datang di realitas baru pelayaran global. Industri kontainer baru-baru ini berhasil mencatat rekor terburuk dalam sejarah emisinya. Data terbaru menunjukkan lonjakan emisi karbon global sebesar 14 persen, dan lebih parah lagi di Uni Eropa, mencapai 45 persen.

Banyak yang memperkirakan ini jadi ramalan di 2050. Sayangnya sudah kejadian.

Penyebab utamanya lagi-lagi rute memutar karena konflik di Laut Merah. Kapal-kapal kini memilih jalur ribuan mil lebih jauh melalui Tanjung Harapan ketimbang melewati Terusan Suez.

Dalam industri yang gemar memamerkan jargon “dekarbonisasi” dan “bahan bakar hijau”, ketika benar-benar diuji, jawabannya selalu belum siap. Secara teknologi, mentalitas, apalagi operasional, pelaku industri pelayaran masih jauh dari siap dari bencana ekologis.

Padahal solusi sudah ada. Bahkan solusi yang tidak futuristik. Fuelre4m, perusahaan berbasis di Dubai, menciptakan teknologi perawatan bahan bakar yang meningkatkan efisiensi hingga 20 persen tanpa perlu menunggu generasi energi berikutnya. Emisi SOx, NOx, GHG memangt urun signifikan. Tapi apakah industri mengadopsinya secara luas? Tentu saja tidak.

Kendatipun begitu, menyalahkan geopolitik sepenuhnya tentu terkesan kelewat 'nyaman'. Masalah sesungguhnya, seperi kata CEO Fuelre4m Rob Mortimer pada Maritime Executive, adalah kurangnya imajinasi industri--yang berarti kurangnya inovasi pada industri pelayaran-- yang disertai dengan obsesi terhadap cara lama.

Alasannya cukup simpel, menigngat selama ini pelayaran hidup dalam ilusi biner: kalau tidak solusi total, lebih baik tidak sama sekali. Lebih keren bicara soal metanol hijau masa depan, ketimbang memakai solusi nyata yang bisa dipakai hari ini.

Industri ini tidak kekurangan alat, teknologi, atau urgensi. Yang hilang cuma satu, yaitu niatnya. Tapi tentu lebih mudah menunggu “pihak lain mulai duluan” sambil menyalahkan krisis terbaru.

Rob Mortimer berkesimpulan, “Masalahnya bukan pada teknologi. Masalahnya ada pada kita.” Jika bencana lingkungan ini tidak cukup membuka mata, mungkin industri menunggu “bencana berikutnya” untuk benar-benar berubah.

× Image