Biomassa Tenggelam: Solusi Iklim atau Ancaman Laut Dalam?

ShippingCargo.co.id, Jakarta– Dalam upaya mengatasi perubahan iklim, para ilmuwan dan pelaku bisnis dari berbagai negara kini melirik laut dalam sebagai tempat baru untuk "menyimpan" karbon. Strateginya terdengar sederhana: kumpulkan limbah tanaman dari pertanian, lalu tenggelamkan ke dasar laut yang kekurangan oksigen, dan biarkan karbonnya terkunci di sana selama ratusan tahun.
Metode ini, yang kini dinamai Marine Anoxic Carbon Storage (MACS), mulai mendapatkan perhatian dalam forum-forum iklim dan geoengineering, termasuk dalam pertemuan penting di Bucharest awal tahun ini.
Dengan sertifikasi dari lembaga seperti Puro.earth, yang siap mengeluarkan “CO Removal Certificates” (CORCs), proyek seperti ini bisa menjual kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan yang ingin mengimbangi jejak emisi mereka. Menurut Puro,potensi keuntungan bersih industri ini bisa mencapai €250 juta, asalkan standar operasional dan monitoring dipenuhi,seperti dilansir oleh Maritime Executive,.
Dua perusahaan yang berada di garis depan teknologi ini adalah:
- Carboniferous (AS), yang akan melakukan uji coba 20 ton biomassa di Orca Basin, Teluk Meksiko.
- Rewind (Eropa), yang merencanakan pembuangan 100 ton limbah pertanian ke Laut Hitam – zona laut dalam yang secara alami kekurangan oksigen.
CEO Rewind, Ram Amar, mengklaim bahwa proyek mereka bisa mencapai skala gigaton per dekade dengan risiko yang “sangat kecil”. Ia menyebut Sungai Danube sendiri sudah membawa 100 ton biomassa ke Laut Hitam setiap jamnya.
Namun, kritik muncul dari berbagai pihak. Cristiana Callieri, peneliti laut dari Italia, menyebut langkah ini sebagai “penghancuran mikrobioma unik di laut dalam”. Meski minim fauna besar, zona anoksik seperti Laut Hitam menyimpan ekosistem mikroba yang belum sepenuhnya dipahami manusia. Merusaknya, menurutnya, adalah taruhan besar yang belum tentu sebanding dengan manfaatnya.
James Kerry dari OceanCare menyebut teknologi seperti ini “masih prematur”, dengan risiko yang belum sepenuhnya dipetakan. Ia menyoroti masa monitoring yang hanya 15 tahun dalam rancangan awal Puro.earth — meski kini diperpanjang menjadi 200 tahun — sebagai terlalu pendek dibandingkan ambisi penyimpanan karbon jangka panjang.
Ada pula pertanyaan mendasar: apakah limbah tanaman lebih baik digunakan untuk memperkaya kembali tanah pertanian daripada ditenggelamkan ke laut?
Tentu kondisi seperti ini mengkhawatirkan bagi Indonesia. Sebagai negara maritim dan eksportir besar hasil pertanian seperti kelapa sawit, Indonesia memiliki banyak potensi biomassa.
Namun pendekatan seperti MACS juga membawa pertanyaan serius:
- Apakah kita siap menenggelamkan limbah tanaman ke perairan dalam Indonesia?
- Bagaimana kita mengukur dampaknya terhadap biodiversitas laut dalam yang belum tergali?
- Siapa yang akan bertanggung jawab bila ekosistem rusak?
Pemerintah, pelaku industri, dan peneliti Indonesia perlu bersikap kritis dan hati-hati, sambil mengikuti perkembangan standar global seperti dari Puro.earth. Kolaborasi riset dengan komunitas ilmiah internasional serta transparansi dalam setiap eksperimen laut menjadi kunci agar Indonesia tidak menjadi “tempat uji coba” proyek iklim berisiko tinggi.

ShippingCargo.co.id adalah media online yang berfokus pada informasi tentang shipping, pelabuhan, logistik, dan industri-industri yang terkait.