Home > Kebijakan

IMO Sahkan Kerangka Net-Zero: Industri Maritim Bersiap Hadapi Era Baru Dekarbonisasi

Beberapa negara pelabuhan juga mulai menyiapkan infrastruktur pendukung bahan bakar alternatif.
Kerangka Net-Zero akan pengaruhi pelayaran. Sumber: Freepik
Kerangka Net-Zero akan pengaruhi pelayaran. Sumber: Freepik

ShippingCargo.co.id, Jakarta — Dalam sidang penting Komite Perlindungan Lingkungan Laut (MEPC) ke-83, IMO menyetujui paket regulasi ambisius yang menetapkan target emisi nol bersih (net-zero) untuk sektor pelayaran internasional pada tahun 2050. Kebijakan ini mencakup pengenaan pajak karbon, standar efisiensi bahan bakar baru, dan insentif untuk penggunaan bahan bakar alternatif seperti LNG dan metanol.

Organisasi Maritim Internasional (IMO) secara resmi menyetujui kerangka kerja net-zero terbaru pada April 2025, menandai tonggak penting dalam upaya global untuk mendekarbonisasi sektor pelayaran internasional. Langkah ini mendapat sambutan luas dari pelaku industri namun juga menuai sejumlah tantangan teknis dan regulasi, per Maritime Executive.

Apa yang Disahkan?

IMO menyetujui "Kerangka Net-Zero" yang terdiri dari:

  • Target Net-Zero pada 2050: Mewajibkan seluruh kapal berbendera negara anggota IMO untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara bertahap hingga mencapai nol bersih pada pertengahan abad ini.

  • Langkah Jangka Pendek dan Menengah: Termasuk penetapan ambang batas emisi tahunan mulai 2027 dan sistem insentif ekonomi berbasis pajak karbon global.

  • Teknologi Netral: Memberikan ruang bagi berbagai solusi bahan bakar ramah lingkungan tanpa mengunggulkan satu teknologi tertentu, sesuai prinsip "technology neutrality" .

Mengapa Ini Penting?

Sektor pelayaran bertanggung jawab atas hampir 3% emisi global CO . Dengan tren perdagangan global yang meningkat, transformasi sektor ini menjadi krusial untuk pencapaian target iklim global yang disepakati dalam Paris Agreement.

“Ini adalah sinyal kuat bahwa dunia maritim serius untuk berubah,” ujar Arsenio Dominguez, Sekretaris Jenderal IMO. “Tantangannya bukan hanya teknologi, tapi juga kemauan politik dan koordinasi global.”

Sementara itu, BIMCO—organisasi pelayaran internasional terkemuka—menyambut baik kebijakan ini namun mengingatkan soal implikasi hukum dan operasional. “Kami butuh kejelasan siapa yang bertanggung jawab atas emisi—pemilik kapal atau penyewa,” jelas Grant Hunter, Direktur Dokumentasi BIMCO .

Beberapa perusahaan sudah bergerak cepat. Sea Cargo Charter, aliansi global perusahaan kargo laut, mengumumkan penyesuaian pedoman mereka agar selaras dengan target baru IMO . Beberapa negara pelabuhan juga mulai menyiapkan infrastruktur pendukung bahan bakar alternatif.

Namun, sejumlah operator kapal kecil di Asia Tenggara menyatakan kekhawatirannya. “Biaya konversi kapal sangat tinggi dan insentifnya belum jelas,” kata salah satu pengusaha pelayaran dari Surabaya yang enggan disebutkan namanya.

Sebagai negara kepulauan dengan pelayaran domestik dan internasional yang padat, Indonesia memiliki peluang besar sekaligus tantangan besar. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menyatakan komitmennya untuk mengadopsi standar IMO ini secara bertahap. Proyek percontohan bahan bakar bioetanol di Pelabuhan Tanjung Priok tengah dikembangkan sebagai langkah awal.

Kerangka kerja net-zero IMO adalah langkah maju yang monumental dalam sejarah pelayaran global. Namun implementasinya membutuhkan dukungan lintas sektor—dari pembuat kebijakan hingga pelaku industri lokal. Keberhasilan inisiatif ini akan sangat bergantung pada kesiapan teknologi, regulasi domestik, dan kolaborasi internasional.

× Image