ShippingCargo.co.id, Jakarta—Kebijakan perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok—terutama di bawah masa kepresidenan Donald Trump—telah mengguncang peta perdagangan global. Salah satu negara yang paling diuntungkan dari konflik ini adalah Brasil. Grafik dari COMEX Stats menunjukkan ekspor kedelai dan daging sapi beku Brasil ke China melonjak drastis selama dekade terakhir, dengan pertumbuhan signifikan terjadi setelah awal perang dagang pada 2018.

Ketika AS dan Tiongkok saling menutup akses pasar melalui tarif yang mencapai lebih dari 200%, Brasil mengisi kekosongan, mengambil alih pangsa pasar AS di China. Ekspor kedelai Brasil melonjak dari sekitar 30 juta ton pada 2012 menjadi hampir 80 juta ton pada 2024. Demikian pula, ekspor daging sapi beku naik delapan kali lipat sejak 2016.

Namun, ledakan ekspor ini datang dengan harga mahal—terutama bagi lingkungan. Para peneliti dari Imazon memperingatkan bahwa peningkatan permintaan luar negeri, khususnya dari Tiongkok, mendorong deforestasi besar-besaran di Amazon dan wilayah Cerrado. Lebih dari 90% deforestasi di Amazon terjadi untuk membuka lahan penggembalaan, banyak di antaranya tidak memenuhi standar keberlanjutan lingkungan.

Secara ekonomi, pelemahan mata uang Brasil (real) baru-baru ini membuat ekspornya lebih kompetitif, memperkuat posisinya di pasar Tiongkok. Tetapi di sisi lain, tekanan terhadap harga pangan domestik pun meningkat, seperti dilaporkan oleh Maritime Executive.

Solusinya? Penguatan kebijakan publik seperti Program Konversi Lahan Terdegradasi dan penerapan teknologi pemantauan satelit dinilai penting. Bahkan jikaTiongkok, salah satu rekanan Brasil di BRICS menambahkan persyaratan lingkungan pada ekspor daging sapihal itu bisa mendorong perubahan besar menuju praktik agribisnis yang lebih berkelanjutan.

Perang dagang memberi peluang ekonomi jangka pendek. Kendatipun begitu,tantangan jangka panjang tetap sama: Bagaimana menjaga keseimbangan antara keuntungan perdagangan dan perlindungan lingkungan?