Home > Shipping

Neraca Dagang Surplus, Logistik Maritim Waspadai Dampak Tarif AS

Ancaman ke depan adalah potensi defisit yang dapat mengguncang arus barang di pelabuhan akibat lonjakan impor dari AS
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia yang sebelumnya terkena sebesar 32%. Melalui penundaan ini, untuk sementara Indonesia hanya akan dikenakan tarif dasar sebesar 10% seperti negara lainnya. Namun, kebijakan penundaan tarif baru selama 90 hari ini tidak berlaku untuk Tiongkok. Sumber: Republika/Prayogi
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/4/2025). Presiden Amerika Serikat Donald Trump, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia yang sebelumnya terkena sebesar 32%. Melalui penundaan ini, untuk sementara Indonesia hanya akan dikenakan tarif dasar sebesar 10% seperti negara lainnya. Namun, kebijakan penundaan tarif baru selama 90 hari ini tidak berlaku untuk Tiongkok. Sumber: Republika/Prayogi

ShippingCargo.co.id,JAKARTA – Ketegangan dagang global, khususnya akibat kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, tak hanya menjadi sorotan bagi sektor perdagangan dan manufaktur. Pasalnya, hal ini juga memiliki implikasi besar terhadap sektor logistik dan pelayaran maritim Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang 2,2 persen terhadap PDB dan 17 persen dari total perdagangan luar negeri. Namun, angka ini tetap signifikan bagi pelabuhan utama Indonesia seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak, yang menjadi titik keluar masuk barang ekspor-impor—khususnya komoditas seperti farmasi, semikonduktor, bahan kimia, hingga hasil tambang dan pertanian.

Rully Arya Wisnubroto dari Mirae Asset memperkirakan neraca perdagangan Maret 2025 masih akan surplus sebesar 2,9 miliar dolar AS, ditopang ekspor emas, batu bara, dan CPO. Kendatipun begitu, ancaman ke depan adalah potensi defisit yang dapat mengguncang arus barang di pelabuhan akibat lonjakan impor dari AS dan “banjir barang” dari Tiongkok yang kehilangan pasar di AS karena tarif tinggi.

Dalam konteks logistik, hal ini berpotensi menciptakan bottleneck di pelabuhan domestik. Volume kontainer bisa melonjak—baik dalam rangka lonjakan impor AS maupun limpahan ekspor Tiongkok—dan memperburuk kongesti serta menekan efisiensi layanan bongkar muat, per Republika.

Sementara itu, relaksasi TKDN dan pelonggaran Non-Tariff Measures (NTMs) juga menjadi perbincangan dalam negosiasi bilateral. Jika tidak diiringi penguatan sistem logistik nasional, kebijakan tersebut dapat memperbesar ketergantungan pada infrastruktur pelayaran asing dan memperlemah daya saing pelabuhan nasional, terutama terhadap pelabuhan transshipment seperti di Singapura.

Eko Listiyanto dari Indef mengingatkan pentingnya sikap hati-hati. Tindakan reaktif terhadap AS justru bisa memperkeruh stabilitas rantai pasok maritim yang sangat tergantung pada keterbukaan jalur pelayaran internasional.

Menurutnya, diplomasi adalah solusi strategis, sembari memperkuat kerja sama dagang maritim dan diversifikasi pasar ekspor melalui jalur pelayaran yang lebih terintegrasi, efisien, dan mandiri.Dalam konteks ini, kebijakan fiskal seperti insentif pelayaran, percepatan digitalisasi pelabuhan, dan perluasan armada kapal nasional menjadi kunci memperkuat logistik laut Indonesia di tengah gejolak global.

× Image