Home > Kebijakan

UU Nomor 66 Tahun 2024, Harapan Baru Atau Tantangan Baru Pelayaran Indonesia?

UU ini atur pengelolaan pelabuhan secara lebih mendetil.
Ilustrasi pelayaran. Sumber:Freepik
Ilustrasi pelayaran. Sumber:Freepik

ShippingCargo.co.id, Jakarta — Undang-Undang Nomor 66 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah disahkan dan membawa angin segar bagi sektor maritim Indonesia. UU ini diharapkan mampu memperkuat konektivitas antar pulau, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, serta melestarikan lingkungan maritim.

Salah satu poin penting dalam UU ini adalah pemberdayaan pelayaran rakyat. Dengan adanya regulasi yang lebih jelas, diharapkan usaha kecil menengah di sektor pelayaran dapat berkembang dan bersaing.

Pemberdayaan pelayaran rakyat diatur melalui Pasal 15A–15E, dengan tujuan mendukung usaha kecil-menengah dan melestarikan budaya maritim. Pengelolaan pelabuhan dan kewajiban pelayanan publik diatur lebih rinci dalam Pasal 26A–26D.

Selain itu, ada penguatan tanggung jawab dalam pelindungan lingkungan maritim melalui Pasal 123 dan Pasal 230–234, termasuk kewajiban penyediaan fasilitas pengolahan limbah oleh pelabuhan. Selain itu, UU ini juga mengatur pengelolaan pelabuhan secara lebih rinci, termasuk pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Namun, implementasi UU ini tidak terlepas dari tantangan. Pertanyaan mengenai pembiayaan, koordinasi antar instansi, serta pengawasan terhadap pelanggaran menjadi hal krusial yang perlu diperhatikan, mengingat potensi konflik antara pelaku usaha pelayaran rakyat dan perusahaan besar juga perlu diantisipasi.

UU Nomor 66 Tahun 2024 merupakan langkah maju dalam upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor maritim Indonesia. Namun, keberhasilannya masih perlu dibuktikan dalam praktik. Masyarakat pun berharap agar UU ini dapat membawa dampak positif bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah kepulauan.

× Image