Revisi Regulasi Maritim Indonesia: Peluang dan Tantangan
ShippingCargo.co.id, Jakarta—Indonesia terus menghadapi perubahan regulasi di sektor maritim dengan adanya revisi UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Ditambah dengan keberadaan UU Cipta Kerja dan revisinya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, regulasi ini berperan besar dalam mengatur sektor transportasi dan logistik laut.
Undang-undang di bidang maritim Indonesia yang telah disebutkan memiliki peran krusial dalam menjaga kedaulatan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengatur aktivitas di laut. UU No. 17/2008 tentang Pelayaran menjadi landasan dalam mengatur keselamatan dan keamanan pelayaran, serta menegaskan asas cabotage (prinsip yang memberi hak eksklusif kegiatan angkutan barang dan orang dalam negeri oleh perusahaan angkutan laut nasional) dalam rangka melindungi perusahaan pelayaran nasional. Sementara itu, UU No. 32/2014 tentang Kelautan memiliki cakupan lebih luas, fokus pada pengelolaan wilayah laut secara komprehensif dan berkelanjutan.
UU Cipta Kerja turut mempengaruhi sektor maritim dengan menyederhanakan regulasi dan mendorong investasi.Namun, tujuan untuk meningkatkan efisiensi ini seringkali berbenturan dengan upaya menjaga kedaulatan dan melindungi usaha kecil. Implementasi UU ini di sektor maritim membutuhkan koordinasi yang baik antara berbagai kementerian dan lembaga.
Asas cabotage yang tertuang dalam UU No. 17/2008 menjadi salah satu isu sentral dalam kebijakan maritim Indonesia.Penerapan asas ini bertujuan untuk melindungi industri pelayaran nasional dan mengurangi ketergantungan pada kapal asing. Namun, usulan revisi UU ini, terutama terkait Pasal 341, telah memicu kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak, terutama asosiasi pengusaha pelayaran nasional.
Tantangan dalam implementasi kebijakan maritim Indonesia sangat kompleks. Di satu sisi, pemerintah berupaya menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, lingkungan, dan kedaulatan. Di sisi lain, koordinasi antar-lembaga, pengawasan yang efektif, dan penyelesaian berbagai kepentingan yang seringkali bertentangan menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan tersebut.
Para ahli dan pemangku kepentingan memiliki pandangan yang berbeda terkait revisi UU ini. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa revisi UU No. 17/2008 dapat menyederhanakan operasi di sektor offshore, yang berpotensi meningkatkan produksi migas. Namun, di sisi lain, dilansir HukumOnline, ahli hukum maritim dan legislator memperingatkan bahwa pelemahan asas cabotage dapat merugikan industri pelayaran domestik dan mengurangi kedaulatan maritim Indonesia.
Perdebatan terkait revisi kedua dan ketiga dari UU No. 17/2008 juga berkaitan dengan diskusi yang lebih luas tentang keamanan maritim Indonesia, khususnya dengan adanya usulan dari INSA untuk membentuk penjaga pantai terpadu di bawah Pasal 352, seperti dilansir oleh Hukum Online. Usulan ini bertujuan untuk memusatkan penegakan hukum maritim, tetapi menghadapi penolakan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan inefisiensi birokrasi dan bentrokan dengan lembaga yang sudah ada.
Selain itu, revisi UU Cipta Kerja melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 juga memberikan dampak signifikan pada sektor transportasi dan logistik laut, dalam rangka mempercepat reformasi di sektor ini namun tetap memerlukan penyesuaian dari berbagai pihak agar implementasinya tidak merugikan pihak lokal.
Revisi UU No. 17/2008, UU No. 32/2014, dan UU Cipta Kerja membawa peluang dan tantangan bagi sektor maritim Indonesia. Sementara UU ini dirancang untuk memperkuat industri dan kedaulatan nasional, mereka juga menghadapi penolakan dari pemangku kepentingan yang khawatir terhadap dampak jangka panjangnya.