Home > Kolom

Kemacetan Tanjung Priok : Krisis Struktural Logistik Indonesia?

Kemacetan 17-18 April kemarin tunjukkan reformasi logistik tidak bisa hanya fokus pada laut.
Petugas mengatur arus lalu lintas truk kontainer di Perempatan Pos IX Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (18/4/2025). Saat ini kondisi kemacetan lalu lintas dilokasi tersebut sudah mulai terurai, namun masih terpantau padat yang didominasi truk-truk kontainer yang keluar masuk pelabuhan untuk aktivitas bongkar muat. Sebelumnya, sejak Kamis (17/4/2025) hingga Jumat pagi, kawasan ini mengalami kemacetan panjang akibat meningkatnya aktivitas bongkar muat di pelabuhan, yang berdampak juga ke beberapa ruas tol dan jalan di sekitarnya. Sumber: Republika/Prayogi
Petugas mengatur arus lalu lintas truk kontainer di Perempatan Pos IX Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (18/4/2025). Saat ini kondisi kemacetan lalu lintas dilokasi tersebut sudah mulai terurai, namun masih terpantau padat yang didominasi truk-truk kontainer yang keluar masuk pelabuhan untuk aktivitas bongkar muat. Sebelumnya, sejak Kamis (17/4/2025) hingga Jumat pagi, kawasan ini mengalami kemacetan panjang akibat meningkatnya aktivitas bongkar muat di pelabuhan, yang berdampak juga ke beberapa ruas tol dan jalan di sekitarnya. Sumber: Republika/Prayogi

ShippingCargo.co.id, Jakarta — Kemacetan parah yang melanda Pelabuhan Tanjung Priok pasca-Lebaran 2025 bukan sekadar kepadatan musiman. Hal ini jadi cermin krisis struktural dalam sistem logistik dan maritim Indonesia.

Dari kacamata pelaku industri pelayaran dan logistik, kemacetan yang terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok pasca-Lebaran 2025 bukan sekadar fenomena musiman. Lonjakan arus kendaraan logistik — dari rata-rata 2.500 menjadi 4.000 truk per hari — menunjukkan bahwa infrastruktur dan manajemen logistik nasional belum siap menghadapi tekanan volume yang tinggi.

Sebagai pelabuhan utama Indonesia dengan throughput mencapai 1,88 juta TEUs pada kuartal I 2025 (naik 7,2 persen dari tahun lalu), Tanjung Priok seharusnya berfungsi sebagai simpul kelancaran, bukan sebagai titik kemacetan. Namun faktanya, sistem penerimaan dan pengeluaran kontainer rupanya masih belum sanggup mengimbangi pertumbuhan volume.

Sistem digital seperti Terminal Operating System (TOS), autogate, hingga gate pass berbasis waktu sudah diterapkan. Kendatipun begitu, seperti dilansir Republika, efektivitas sistem ini terhambat akibat tingkat kepatuhan operator dan minimnya integrasi data antar pemangku kepentingan.

Baca Juga: IKK Turun, Perang Tarif AS Ancam Daya Beli dan Pertumbuhan Konsumen

Permasalahan ini semakin mengkhawatirkan di tengah tensi perang dagang global, terutama antara AS dan Tiongkok. Lonjakan aktivitas ekspor-impor sebagai dampak pengalihan jalur logistik global pasca tarif AS terhadap Tiongkok, membuat pelabuhan-pelabuhan seperti Tanjung Priok makin strategis. Namun jika belum ada pembenahan signifikan, Indonesia justru terancam kehilangan momentum sebagai pemain logistik regional.

Sisi darat pelabuhan dinilai sebagai titik lemah: konektivitas jalan yang terbatas, moda kereta api logistik yang tidak kompetitif, dan fasilitas penyangga seperti buffer zone yang telah berubah fungsi. Padahal, reformasi logistik tidak bisa hanya fokus pada laut — sisi hulu dan hilir harus dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem.

Kemacetan ini adalah sinyal keras. Dibutuhkan pendekatan prediktif berbasis data — seperti pre-booking gate time, digital twin port, serta kolaborasi erat antara Pelindo, Kemenhub, Ditlantas, dan asosiasi logistik — untuk membentuk sistem logistik yang resilien dan berdaya saing global. Jika tidak, mimpi Indonesia sebagai poros maritim dunia hanya akan jadi retorika kosong di tengah deretan kontainer yang tak bergerak.

× Image