Home > Shipping

PIS Pimpin Revolusi Hijau, 189 Kapal Beralih ke B40

Bahan bakar ini masih kontroversial.
Ilustrasi kapal PIS. B40 jadi bahan bakar yang dipilih PIS untuk kapal-kapalnya. Sumber:Freepik
Ilustrasi kapal PIS. B40 jadi bahan bakar yang dipilih PIS untuk kapal-kapalnya. Sumber:Freepik

ShippingCargo.co.id, Jakarta— Pertamina International Shipping (PIS) mencatat sejarah dengan mengonversi seluruh 189 kapal domestiknya ke bahan bakar B40 sejak Januari 2025, sebagai langkah strategis mendukung transisi energi hijau Indonesia.

Keputusan ini tidak sekadar memenuhi mandat Kementerian ESDM, tetapi juga menegaskan ambisi PIS mencapai net zero emission pada 2050. Menurut situs resmi PIS, bahan bakar B40—campuran 40% biodiesel nabati dan 60% solar—terbukti mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 30% dibandingkan bahan bakar fosil konvensional, sekaligus menghemat devisa negara lewat substitusi impor solar.

Namun, revolusi ini bukan tanpa tantangan. Meski B40 lebih ramah lingkungan, skeptisisme muncul terkait ketersediaan bahan baku biodiesel berkelanjutan.

Pasokan minyak sawit—sumber utama biodiesel Indonesia—masih dihantui isu deforestasi dan konflik lahan.PIS berargumen bahwa mereka telah mengadopsi prinsip sustainable sourcing dan bekerja sama dengan petani sawit bersertifikat ISPO untuk memastikan rantai pasok etis.

Inovasi teknologi menjadi kunci keberhasilan transisi. PIS memasang Energy Saving Devices (ESD) yang meningkatkan efisiensi bahan bakar hingga 15% pada kapal-kapal tertentu, serta mengadopsi teknologi dual-fuel yang memungkinkan penghematan konsumsi bahan bakar hingga 30 persen. Langkah ini diperkuat dengan rencana peningkatan kontribusi bisnis hijau menjadi 34% pada 2034 dan penurunan emisi 32% di tahun yang sama.

Komitmen PIS tidak hanya mendapat apresiasi dari pemerintah, tetapi juga diakui global melalui perolehan skor ESG BBB dari MSC. Namun, kesuksesan jangka panjang bergantung pada kolaborasi multidimensi: dari regulasi ketat hingga edukasi masyarakat tentang energi bersih. Jika PIS konsisten, mereka bisa menjadi katalisator transformasi industri maritim Asia Tenggara—tapi jika gagal, ini hanya akan menjadi greenwashing mahal yang mengorbankan nelayan dan petani sawit kecil.

× Image