Mengapa Indonesia Dianggap Lemah dalam Reformasi Perizinan Dagang?

ShippingCargo.co.id, Jakarta —Indonesia kembali menduduki peringkat terbawah dalam Trade Barrier Index (TBI) 2025—posisi ke-122 dari 122 negara. Di tengah ambisi menjadi poros maritim dunia, ketertinggalan ini menyoroti akar masalah mendasar: sistem perizinan yang masih berbelit, tidak efisien, dan sering tumpang tindih antara pusat dan daerah.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2014, pemerintah memang sudah menetapkan perizinan sebagai instrumen pengendalian perdagangan yang penting. Namun dalam praktiknya, Pasal 24 hingga 49 justru memperlihatkan kompleksitas administratif yang membuka celah bagi praktik birokrasi lamban dan tidak responsif terhadap kebutuhan pasar global.
Laporan TBI 2025 memperjelas gambaran ini. Indonesia berada di posisi terakhir dalam pilar Facilitation, terutama karena buruknya performa pada aspek digital trade restrictions dan service barriers. Dalam pilar Service Restrictions, Indonesia bahkan menjadi negara paling proteksionis—menghambat sektor konstruksi dan jasa keuangan lewat regulasi ketat yang tidak ramah investor.
Alih-alih menyederhanakan prosedur, kebijakan justru mempersulit pelaku usaha lokal dan asing. Hal ini bertolak belakang dengan semangat Pasal 5 UU Perdagangan yang menekankan efisiensi dan efektivitas distribusi barang.
Reformasi perizinan tak cukup hanya di atas kertas. Jika Indonesia ingin naik kelas dalam perdagangan global, pemerintah harus berani memangkas prosedur, menyeragamkan sistem perizinan antar daerah, dan memprioritaskan digitalisasi tanpa mempersulit akses. Tanpa langkah konkret ini, Indonesia akan terus dilihat sebagai pasar yang potensial tapi terlalu rumit untuk dimasuki.

ShippingCargo.co.id adalah media online yang berfokus pada informasi tentang shipping, pelabuhan, logistik, dan industri-industri yang terkait.