Home > Kolom

Energi Nuklir, Masa Depan Industri Maritim Indonesia?

Indonesia jadi negara penandatangan NPT, menyulitkan aplikasi praktis energi nuklir.
Ilustrasi PLTN. Sumber: Unsplash/ Frédéric Paulussen
Ilustrasi PLTN. Sumber: Unsplash/ Frédéric Paulussen

ShippingCargo.co.id, Jakarta – Industri pelayaran dan logistik maritim Indonesia tengah menghadapi tantangan besar untuk mengurangi emisi karbon. Dalam skenario masa depan, penggunaan energi nuklir dapat menjadi solusi inovatif bagi sektor ini.

Pelayaran menghasilkan hampir satu miliar ton emisi CO2 setiap tahun, setara dengan 3% dari total emisi global. Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi ini hingga 50% pada 2050. Namun, pencapaian ini memerlukan terobosan teknologi, salah satunya melalui penerapan energi nuklir pada kapal dan infrastruktur pelabuhan.

Michael Watt, Ketua Singapore Joint Branch dari Royal Institution of Naval Architects, menegaskan bahwa energi nuklir menawarkan skalabilitas yang diperlukan untuk dekarbonisasi maritim. "Nuklir adalah jawaban untuk kebutuhan energi global sambil mendukung inisiatif bahan bakar sintetis," ujarnya.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat bergantung pada transportasi laut. Selain itu, pelabuhan strategis seperti Tanjung Priok dan Makassar menjadi pusat logistik utama yang menghadapi tantangan untuk tetap kompetitif di tengah meningkatnya tekanan global terhadap keberlanjutan lingkungan.

Salah satu inovasi kunci adalah Small Modular Reactor (SMR) yang dirancang untuk keselamatan tinggi dan efisiensi. SMR seperti Westinghouse eVinci bahkan dirancang untuk berjalan delapan tahun tanpa perlu pengisian ulang bahan bakar.

Domenic Carlucci, Wakil Presiden Global Government Services di American Bureau of Shipping (ABS), menyebutkan bahwa dokumen pedoman baru telah disusun untuk memastikan penerapan teknologi nuklir di kapal dan platform terapung berjalan aman dan efisien.

"Kesadaran publik adalah tantangan besar, tetapi dengan pendidikan yang tepat, kita dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap teknologi nuklir modern," tambahnya.

Kendatipun begitu, posisi Indonesia Indonesia sebagai negara penandatangan Nuclear Proliferation Treaty per 7 Juli 2017 jelas akan jadi hambatan terbesar pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir terapung di Kawasan Indonesia Timur, mengingat pembangunan PLTN di Indonesia Barat saja bisa jadi tidak terlaksana. Ironis, mengingat inisiatif ini tidak hanya mendukung kebutuhan energi domestik tetapi juga membuka peluang untuk menjadi pusat logistik global yang berbasis teknologi hijau.


× Image